Upacara mande’ bedil yang rutin digelar oleh Keraton Pakunegara Tayan dianggap sebagai salah satu tradisi penting yang perlu dilestarikan. Tradisi ini, menurut Dr. Hariansyah, dosen Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak, telah menjadi simbol pemersatu masyarakat yang beragam, baik dari segi suku maupun agama di wilayah Tayan.
Pernyataan tersebut disampaikan Dr. Hariansyah dalam seminar International Conference of Religious Diversity and Development in Borneo yang diadakan di Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada Selasa, 29 Oktober 2024. Dalam seminar internasional ini, Hariansyah menjadi salah satu pembicara, bersama dua kolega dari IAIN Pontianak, yaitu Abdurrahman yang membahas budaya tafaul di Kalimantan Barat, serta Yusriadi yang mengangkat tema mengenai Islam dan identitas budaya di Kalimantan Barat.
Menurut Hariansyah, hasil penelitian yang dilakukan bersama mahasiswa PGMI, Utin Febri Handayani, mengungkapkan bahwa tradisi mande’ bedil tidak hanya melibatkan keluarga Keraton Tayan, tetapi juga masyarakat luas dari berbagai latar belakang. Beberapa kelompok yang terlibat aktif dalam persiapan dan pelaksanaan tradisi ini antara lain suku Dayak Entangis, Dayak Tebang, Dayak Toba, serta komunitas Tionghoa, meski mereka tidak ikut serta dalam ritualnya.
Hariansyah juga menjelaskan bahwa masyarakat dari luar Tayan, baik yang beretnis Melayu maupun non-Melayu, turut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, terutama saat parade dan perang ketupat, yang menjadi bagian dari rangkaian acara.
“Ini yang menarik, sebuah benda—bedil—dapat berfungsi sebagai instrumen pemersatu dalam masyarakat yang begitu beragam,” ujar Hariansyah.
Lebih lanjut, Hariansyah menyatakan bahwa tradisi mande’ bedil merupakan contoh nyata bagaimana pendekatan budaya dapat digunakan sebagai sarana untuk membangun kerukunan antar kelompok masyarakat.